Kamis, 17 Juli 2008

Menuju Pragmatisme Religius

Oleh Kuntowijoyo

ADA perubahan besar dan mendasar dalam dunia politik di Indonesia. Transformasi itu ialah hilangnya dikotomi sekuler-religius. Gejala-gejala baru itu ada dalam Pilpres 2004. Semua pasangan capres dan cawapres terdiri atas dua sejoli, sekuler dan religius.


Kata "sekuler" (bukan sekularisme) berarti pandangan "semua urusan adalah murni rasional". Karena itu, bisa saja orang yang secara pribadi amat religius, tetapi memisahkan "urusan" dengan agamanya. Kata "religius" merujuk kepada pandangan "semua urusan mengandung nilai ketuhanan dan kemanusiaan". Keduanya adalah perkembangan dari dikotomi santri-abangan. Istilah yang biasa dipakai, nasionalis dan religius atau nasionalis religius dan religius nasionalis.

Lihat gejala-gejala menarik ini: Wiranto-Salahuddin Wahid (sekuler-religius), Megawati-Hasyim Muzadi (sekuler-religius), Amien Rais-Siswono Yudo Husodo (religius-sekuler), Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla (sekuler-religius), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (religius-sekuler).

Tidak ada lagi dikotomi-dikotomi. Lalu ke arah mana dunia politik bergerak? Pragmatisme religius!

Dikotomi sosial dan budaya

Dikotomi sosial antara priayi dan wong cilik sudah lama mengabur. Program pendidikan umum (pemerintah dan swasta) menjadi sebab mobilitas sosial. Juga munculnya sektor usaha menyebabkan mobilitas sosial. Namun, secara resmi dikotomi sosial dihapus pada 1945 ketika, baik priayi maupun wong cilik, menjadi pegawai negeri. Soekarno yang berasal dari golongan priayi menjadi presiden. Mobilitas sosial itu mencapai puncaknya pada 1966 saat Soeharto yang berasal dari wong cilik menjadi presiden. Karier kemiliteran ternyata menjadi sarana yang baik untuk mobilitas sosial itu. Pada zaman Belanda ada KNIL, zaman Jepang Peta, Heiho, dan Hizbullah, RI punya TNI/Polri. Pembagian kerja masyarakat juga terjadi sehingga dikotomi sosial itu mengabur dan menghilang. Pekerjaan-pekerjaan baru juga muncul: dosen, profesional (advokat, notaris, anggota legislatif), dan eksekutif perusahaan.

Dikotomi budaya abangan dan santri yang mempunyai latar belakang panjang itu juga mengabur secara pelan-pelan. Semula abangan dan santri memang sangat berpengaruh pada dunia politik. Ada Si Merah dan Si Putih, ada PKI, PNI, dan Masyumi/NU. Dalam kepercayaan-kepercayaan nativistik (Agama Jawa, Saminisme, Sarekat Abangan), agama kaum santri ditolak. Namun, dikotomi budaya mulai mengabur berkat adanya mobilitas budaya: haji, buku-buku, dan pergaulan.

Pendidikan agama di sekolah-sekolah mempunyai andil yang sangat besar. Anak-anak kaum santri malahan sangat tergantung pada sekolah dan perguruan tinggi agama negeri. Pendidikan agama dari semua jenjang (madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) negeri maupun swasta tersedia, baik bagi abangan maupun santri. Tidak ada lagi dikotomi budaya abangan dan santri. Dari dikotomi budaya abangan dan santri inilah lahir dikotomi budaya yang baru, yaitu sekuler dan religius. Oleh karena itu, Pilpres 2004 yang menggabungkan sekuler dan religius hanyalah konsekuensi logis dari proses yang lama. Hasilnya adalah pragmatisme religius. Tetapi, apakah pragmatisme? Dan pragmatisme religius?

Pragmatisme

Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, di antaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.

Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika. Dengan adanya pragmatisme tidak ada sosialisme di Amerika. (Ada memang Partai Komunis Amerika dan toko-toko buku Marxisme. Tetapi, baik sosialisme maupun komunisme tidak pernah diperhitungkan dalam dunia politik). Kaum buruh Amerika juga menjadi pendukung kapitalisme karena mereka ikut berkepentingan. Hampir-hampir tidak ada ada kritik terhadap kapitalisme, kecuali dari gerakan The New Left pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Dalam artikel ini kita akan memperlakukan pragmatisme sebagai model cara berpikir dan melepaskannya dari latar belakang keamerikaan. Sebagai cara berpikir, pragmatisme telah merambah ke seluruh dunia. Dalam epistemologi pragmatisme individualisme dan materialisme ekonomi tumbuh subur. Unsur kesadaran tak terdapat di dalamnya.

Sekalipun William James menulis Varieties of Religious Experiences, tidak berarti bahwa dia mendukung kesadaran beragama. Selama pengalaman keagamaan itu berguna bagi yang bersangkutan, maka ia benar. Dengan demikian, pragmatisme adalah relativisme. Tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah "kebenaran" itu berguna atau tidak.

Dalam dunia politik di Indonesia, Orde Baru menganut pragmatisme. Rezim itu tidak peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan sebuah power politics. Dalam politik, fitnah (Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam (Hispran akhir 1970-an), Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyaingi agama-agama (1978), pembunuhan (Tanjung Priok 1984), dan kampanye anti-Pancasila (1985). Pragmatisme dalam bisnis juga melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Mereka mengisap Indonesia dan membawa hartanya keluar. Nucuk angiberake (mencari makan di sini, membawa keluar). Orde Baru membelanya dengan menyebut mereka justru penganut "nasionalisme baru".

Pragmatisme religius

Kata "sekuler" sudah tercakup dalam istilah pragmatisme karena pragmatisme sudah pasti sekuler. Dari dikotomi sekuler-religius, tinggal kata "religius" yang masih ada. Maka, pragmatisme religius akan berarti bahwa "semua urusan mempunyai dimensi rasional, ketuhanan, dan kemanusiaan".

Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Itulah yang bisa diharapkan dari Pilpres 2004. Dikotomi budaya yang selama ini menghantui sistem politik Indonesia hilang. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, tidak akan ada lagi charismatic politics, power politics, dan politics of meaning. Urusan publik Indonesia pun bergeser orientasi, dari Eropa ke Amerika. Diharapkan kekhawatiran akan kembalinya PKI juga lenyap sebab bangsa tidak memerlukan lagi ideologi-ideologi besar dan total. Urusan akan dikelola sebagai urusan yang rasional dengan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Keinginan kaum sekuler ekstrem untuk menghapuskan Departemen Agama, karena instansi itu hanya membuang-buang uang publik juga tidak akan muncul. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius, kepentingan manusia dan "kepentingan" Tuhan, kepentingan dunia, dan kepentingan akhirat. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme.

Dalam dunia politik di Indonesia, Piagam Jakarta 1945 menjadi momok yang selalu menghantui partai-partasi Islam dan non-Islam. Juga dalam Pilpres 2004 hantu itu muncul lagi. Seolah-olah mereka yang kontra-Piagam Jakarta bukanlah orang Islam, setidaknya bukan orang Islam yang baik. Syariat Islam telah misrepresented oleh pemeluknya sendiri, dan misunderstood oleh orang luar. Potong-tangan, cambuk, dan rajam lebih mewakili sya- riat Islam daripada zakat, bank-bank syariah, dan bantuan untuk duafa. Padahal inti syariat Islam adalah keadilan. Dan keadilan adalah rahmatan lil ’aalamiin, ’rahmat untuk semua orang’. Bukan hanya keadilan untuk orang Islam, tetapi semua orang: lintas agama, lintas etnis, lintas bahasa, dan lintas warna kulit.

Keadilan itu juga harus ditunjukkan dalam pergaulan sehari-hari (muamalat) hendaknya orang beragama berperilaku obyektif, yaitu menyembunyikan spiritualitas dan mengedepankan moralitas (Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Mizan, 2000). Dengan demikian, orang lain agama dan non-agama akan merasa aman dalam pragmatisme religius karena diperlakukan sama. Semua orang mendapat penghormatan, pelayanan, dan persahabatan yang sama.

Ketegangan kreatif

Dalam pragmatisme religius kontradiksi tak terdamaikan hilang. Sisa dikotomi sekuler- religius ialah ketegangan kreatif. Ketegangan kreatif itu ialah antara zweckrational (rasional murni) dan wertrational (rasional nilai)-keduanya adalah istilah Max Weber. Pemikiran yang murni rasional (ekonomi, kekuasaan) menjadi satu dengan pemikiran berdasar nilai (ketuhanan, kemanusiaan).

Tidak ada pertentangan soal ideologi sebagaimana terjadi dalam Pemilu 1955, yang ada adalah pertentangan aktualitas. Bangsa tidak lagi menganut ideologi besar, seperti komunisme dengan klaim tunggal atas kebenaran. Orang digerakkan oleh urusan yang nyata dan kesadaran akan nilai.








0 komentar:

Posting Komentar

dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi