Kamis, 17 Juli 2008

Katakan walau itu pahit

Sebenarnyalah bahwa jiwa manusia didesain untuk berbuat jujur. Dalam
al Qur'an disebutkan; laha ma kasabat wa `alaiha ma iktasabat;
(Q/2:286) artinya, bahwa manusia akan memperoleh pahala atas
perbuatan baik yang dikerjakan, dan memperoleh hukuman dari perbuatan
buruk yang dilakukan. Kalimat kasabat mengandung arti mudah
mengerjakan, sedang kalimat iktasabat mengandung arti sulit
mengerjakan.

Jadi maknanya, manusia jika bertindak jujur, mengerjakan perbuatan
kebaikan, maka secara psikologis ia akan melakukannya dengan nyaman,
karena tidak disertai oleh konflik batin. Tetapi untuk tidak jujur,
untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan bisikan hati
nuraninya, maka manusia harus bersusah payah "berjuang" melawan
nurani¬nya sendiri yang tidak mau diajak kompromi. Seseorang, ketika
pertamakali melakukan kebohongan, maka ia berdebar-debar, bingung
bahkan susah tidur karena terganggu oleh pikiran dan perasaan
bagaimana harus meluruskan kebohongan yang sudah terlanjur dilakukan.
Untuk kebohongan kedua, gangguan itu semakin terasa berkurang, dan
jika ia sudah menjadi pembohong "profesional " maka baginya berbohong
atau jujur tak ubahnya pekerjaan memasang kaset, dan dalam keadaan
demikian, ia akan sulit melakukan introspeksi karena nuraninya
bagaikan cermin yang retak-retak.

Kejujuran dan kebohongan bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi
berkaitan dengan keadaan sebelumnya dan membawa implikasi pada
sesudah¬nya. Kebohongan dilakukan seseorang untuk berbagai tujuan;
misalnya untuk memperoleh keuntungan materi secara tidak fair, untuk
membuat kesal atau mencelakakan orang lain, dan adakalanya untuk
menutupi kebohongan yang lain. Implikasi dari kebohongan juga berbeda-
beda. Jika kebohongan itu pada hal yang bersifat informasi,
implikasinya bisa menyesatkan atau mencelakakan orang lain. Jika
kebohongannya pada janji, maka implikasinya pada mengecewakan atau
merugikan orang lain. Jika kebohongannya pada sumpah maka
implikasinya pada merugikan dan mencelakakan orang lain.

Nabi bersabda; Sesunggguhnya kebohongan adalah satu diantara
beberapa pintu kemunafikan, innal kizba babun min abwab an nifaq.
Jadi orang yang melakukan kebohongan berarti sedang berada dalam
proses menjadi seorang munafik. Kata Nabi, tanda-tanda orang munafik
itu ada tiga; (1) jika berkata, ia berdusta, (2) jika berjanji, ia
ingkar dan (3) jika diberi kepercayaan, ia berkhianat.

Seseorang jika sudah sering berbohong, apalagi jika sudah menjadi
pembohong profesional, maka berkata benar merupakan pekerjaan yang
sangat berat bagaikan meminum obat yang pahit. Oleh karena itu Nabi
bersabda; Katakanlah yang benar meskipun pahit, Qul al haqqa walau
kana murran. Hadis ini sering disalah artikan, yakni dijadikan dasar
untuk berani membongkar kesalahan pejabat di depan umum, padahal
hadis ini juga ditujukan kepada setiap orang agar ia berani mengakui
kesalahannya secara terbuka, meski berat. Membuka kesalahan orang
lain, apalagi jika orang itu public figur, adalah pekerjaan yang
menarik syahwat, kebalikan dari mengakui kesalahan sendiri secara
terbuka.

Jika kebohongan merupakan pintu kemunafikan, maka kejujuran merupakan
pintu amanah. Sebagai contoh, Nabi memiliki sifat siddiq (benar dan
jujur), maka sifat lain yang menyertainya adalah amanah
(tanggungjawab), fathanah (cerdas) dan tabligh (menyam¬paikan secara
terbuka apa yang mesti di¬sampaikan). Kebalikannya, dusta (kizib)
akan diiringi oleh sifat curang (khiyanah), bodoh, yakni melakukan
perbuatan bodoh (jahil) dan menyembunyikan apa yang semestinya
disampaikan secara terbuka (kitman).

Manajemen Kejujuran
Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak akan secara otomatis menjadi
pembohong atau jujur. Seorang yang jujur, lama kelamaan bisa menjadi
pembohong jika peluangnya terbuka, sebaliknya pembohong bisa
di¬batasi ruang geraknya oleh sistem pengawasan. Untuk membangun
masyarakat dan bangsa yang beradab dan bermartabat, dibutuhkan sistem
yang memberi reward kepada orang jujur dan manajemen transparansi
yang mempersempit ruang kebohongan. Jika sistem ini berlangsung lama,
maka kebohongan akan dipandang aneh oleh masyarakat. Penulis pernah
menjumpai di Washington, koran dijual tanpa penunggu. Setiap orang
yang mau beli, cukup menaroh uang $1, di kotak dan mengambil satu
koran, dan nampaknya tidak ada orang yang berfikir untuk mengambil
lebih dari yang dibayar. Juga ada pintu tol yang tidak dijaga dimana
setiap pengendara cukup memasukkan uang ke kotak yang disediakan.
Sistem ini pasti belum bisa diterapkan di Jakarta, karena masih
banyak orang berfikir, jika bisa tidak membayar kenapa mesti bayar?

Membangun budaya jujur dan membatasi ruang gerak kebohongan memang
tidak mudah, tetapi sinergi antara sistem pendidikan, penegakan
hukum, transpa¬ransi administrasi publik, sudah barang tentu
keteladanan para pemimpin, pasti akan sangat efektif. Insya Allah.


sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com








0 komentar:

Posting Komentar

dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi