Selasa, 28 Oktober 2008

Mengakui kegagalan

"Kita harus bersedia menerima kegagalan sebagai peluang untuk
belajar, berkembang, memperbaiki diri, membuat permulaan baru, dan
bahkan mengakhiri keterpurukan dan sikap menyerah kita."
-- Charles W. McCoy Jr., dalam bukunya 'Why Didn't I Think of That'

DIA sungguh seksi. Bening dan menggairahkan. Siapa pun yang
melihatnya, pasti ingin menjamahnya. Jangan salah, dia bukanlah
seorang gadis. Dia bernama Macintosh. Tak ada yang menyangkal dengan
kecantikan dan kecanggihan komputer keluaran dari Apple tersebut.
Tapi, siapa dapat menduga, perusahaan ini tumbuh dari sebuah
kegagalan. Tidak saja dalam menciptakan alat tersebut, tapi juga
lika-liku laki-laki si pemiliknya, Steve Jobs.

Sekarang marilah kita kembali ke tahun 1976. Dan tengoklah ke dalam
garasi milik keluarga Jobs. Di sana, dua anak muda yang kebetulan
sama-sama bernama Steve, yaitu Jobs dan Wozniak, tengah asyik
mengutak-atik komputer yang bernama Apple 1.

Singkat cerita, perusahaan ini berkembang seperti pohon rambutan di
musim panas. Cepat berbuah dan manis. Hasilnya, perusahaan ini
tumbuh pesat menjadi a big company. Jobs pun merasa tidak kuasa lagi
mengendalikannya. Pada 1983, dia merekrut John Sculley, dari
perusahaan Pepsi-Cola, untuk memimpin Apple Computer.

Sculey memang pemimpin jempolan. Dia sendiri kemudian menemukan
ketidakcocokan dengan Jobs, yang mudah emosi dan berubah pikiran.
Dua tahun kemudian, karena banyak ulah, dia pun memecat Jobs dari
jabatannya dan mengusirnya dari Apple.

Tragis nian. Orang yang mendirikan perusahaan ternyata harus
hengkang dari rumahnya sendiri. Sedih? So pasti. Tak hanya menyesal
seumur-umur, Jobs pun mengakui kegagalannya selama memimpin di
Apple. Walau sudah begitu, keinginan untuk kembali ke Apple ditolak
oleh para petingginya.

Namun Jobs tak berlama-lama merenungi kegagalannya. Setelah keluar
dari Apple, ia mendirikan sebuah perusahaan komputer lagi, NeXT
Computer, yang juga tergolong maju dalam hal teknologi. Meski pun
canggih, NeXT tidak pernah menjadi terkenal, kecuali di lingkup
riset sains.

Di tahun 1986, Jobs bersama Edwin Catmull mendirikan Pixar, sebuah
studio animasi komputer di Emeryville, California. Satu dekade
kemudian, Pixar berkembang menjadi terkenal dan berhasil dengan film
terobosannya, Toy Story. Sejak saat itu Pixar telah menelurkan film-
film yang memenangkan Academy Award, seperti Finding Nemo dan The
Incredibles. Perusahaan itu kemudian membeli NeXT seharga US$429
juta di tahun 1996. Dan di tahun itu pula, Apple membawa Jobs
kembali ke perusahaan yang ia dirikan.

Kisah Jobs menjadi teramat manis. Dia merupakan sedikit orang yang
gagal dalam pendidikan. Dia tak pernah tamat kuliah, namun berhasil
menjadi satu CEO tersukses.

Itulah sekelumit cerita mengenai kegigihan Steve Jobs, pendiri
Apple. Ketika memberikan pidato di Stanford University, Juni 2005,
Jobs berterus terang soal kegagalannya di Apple, katanya, "Saya
gagal mengambil kesempatan." Lebih lanjut, Jobs mengatakan, "Apa
yang terjadi di Apple sedikit pun tak mengubah saya. Saya telah
ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya memutuskan untuk mulai
lagi dari nol." Dari cerita ini tergambar jelas, Jobs tak malu
mengakui kegagalannya. Ia tak mau menyerah begitu saja. Kemudian
Jobs memperbaiki dan mengevaluasi kegagalannya untuk kemudian meraih
sukses di tahun-tahun berikutnya.

Bagaimana dengan kita? Tentunya kita sering kali mendapatkan
kegagalan. Dalam hal apa saja. Termasuk mungkin, gagal dalam cinta.
Gagal dalam berbisnis. Gagal dalam pekerjaan. Gagal dalam mendidik
anak. Atau bahkan, gagal dalam membina rumah tangga.

Sejatinya, kegagalan merupakan suatu hal yang manusiawi. Kegagalan
bukanlah sesuatu hal yang buruk. Jadi, mengapa harus malu.
Masalahnya, apakah kita berani untuk mengakui suatu kegagalan.

Mengakui kegagalan memang bukanlah perkara yang mudah. Orang yang
dengan tulus mengakui kegagalannya, sudah tentu memiliki jiwa besar.
Karena tidak mudah untuk mengakui suatu kegagalan, maka diperlukan
tingkat keberanian tersendiri dan kejujuran yang paling dalam.

Mengakui kegagalan juga membuka peluang alternatif terbukanya jalan
lain. Kita pun tak hanya terpaku pada satu jalan. Dan seperti yang
dialami Jobs, mengakui kegagalan juga memberikan pelajaran yang
lebih baik lagi untuk tidak mengulangi kesalahan pada hal yang sama.

Ketika kita mengakui kegagalan, niscaya kita akan melihat seluruh
perjalanan yang sudah kita lalui dengan jernih. Alhasil, langkah
untuk memperbaikinya dan mengubahnya menjadi lebih ringan
dilakukan. Namun tentu saja, hal itu harus dibarengi dengan langkah-
langkah untuk membuat perubahan. Setelah mengetahui letak
kesalahannya, langkah selanjutnya yang ditempuh ialah mengatur
kembali rencana berikutnya.

Mengakui kegagalan, bukanlah 'gagal, titik sampai disini'. Bukan
titik, melainkan koma. Mengakui kegagalan bukanlah suatu
pemberhentian akhir, melainkan suatu terminal transit menuju
perjalanan berikutnya yang lebih baik. (150908)

Sumber: Mengakui Kegagalan oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di
Jakarta







0 komentar:

Posting Komentar

dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi