Klaim paling mutakhir yang selalu kita dengungkan adalah; "Kita para
manusia adalah mahluk yang paling sempurna." Kita mengklaim diri
lebih cerdas dari keledai. Lebih beradab dari kadal. Dan lebih
berbudaya daripada buaya atau mahluk manapun sesama penghuni dunia.
Tetapi, apa sih yang sebenarnya menjadikan kita melampaui mahluk-
mahluk lain itu? Secara fisik, kita tidak lebih kuat dari gorila.
Kecepatan kita berlari juga kalah jauh dengan rusa. Diadu dengan
harimau? Wah, sudah pasti kita yang kalah. Lalu, apa yang menjadi
faktor keunggulan kita? Kita bilang; karena kita mempunyai akal.
Dengan berbekal akal itu kita bisa melampaui mahluk lain. Pesawat
terbang menjadikan kemampuan burung tidak terlampau istimewa. Mobil
menyebabkan macan tutul kalah cepat. Buldozer bukan tandingan badak.
Pertanyaannya kemudian adalah; apakah keunggulan itu semata-mata
hanya berhubungan dengan produk-produk akal belaka?
Salah satu film thriller favorit saya adalah Hellboy. Film itu
bercerita tentang mahluk dari neraka yang menyerupai manusia tetapi
berkulit merah menyala, lengkap dengan tanduk kokoh dan ekornya
yang panjang. Kekuatan fisik yang dimiliki Hellboy nyaris tidak
tertandingi, sehingga boleh dikatakan bahwa dia merangkum semua
kekuatan yang dimiliki oleh mahluk hidup yang ada dialam semesta.
Dengan semua kekuatan yang dimiliki itu kita tidak serta merta
mengakui mahluk seperti Hellboy mahluk yang sempurna. Karena belum
tentu dia berakal. Tapi tunggu dulu, Hellboy ternyata adalah mahluk
yang sangat cerdas. Itu menunjukkan bahwa dia punya akal. Bahkan
akalnya mengungguli kebanyakan `manusia modern'. Meskipun begitu,
tetap saja kita tidak mau mengakui dia sebagai mahluk yang sempurna.
Sebab, sekalipun dia lebih kokoh dari binatang dan memiliki akal;
namun bentuknya yang aneh itu menjadikan dia tidak layak disebut
sebagai manusia. Dia berekor. Dan bertanduk. Terlebih lagi wajahnya
tidak tampan. Dengan kata lain, kita bersikeras bahwa untuk menjadi
mahluk sempurna sesuatu harus benar-benar `menyerupai' manusia.
Dengan predikatnya sebagai pemegang kunci pintu neraka, Hellboy
memiliki segala syarat mutlak untuk menjadikannya mahluk jahat.
Sehingga selain ayah angkatnya, hanya ada beberapa orang saja yang
mengatahui betapa baik sesungguhnya dia. Betapa dia peduli pada
orang lain. Bersedia mengorbankan diri untuk menyelamatkan hidup
orang lain. Dan banyak hal lagi. Pendek kata, dibalik penampilan
anehnya itu; tersembunyi begitu banyak kebaikan tersembunyi. Sampai-
sampai agen rahasia John T. Myers berucap; "What makes man, a
man?". `Apa sih sesungguhnya yang menjadikan seseorang menjelma
menjadi manusia yang seutuhnya?' Mengapa begitu banyak manusia yang
memiliki fisik begitu sempurna, namun tidak mempunyai perangai
terpuji layaknya mahluk yang sempurna seperti klaimnya? Sedangkan,
Hellboy memiliki begitu banyak kebaikan hati dibalik penampilan
janggalnya.
Saya jadi teringat guru mengaji dikampung yang bercerita tentang
Sang Nabi. Beliau yang mulia berkata; "Aku diutus Tuhan untuk
menyempurnakan Akhlak ummat manusia". Apakah sesungguhnya akhlak
itu? Akhlak mempunyai tiga komponen utama. Pertama, Perilaku atau
tindakan. Literatur modern menyebutnya behavior. Kedua, sikap atau
yang sering disebut sebagai attitude. Mudah untuk menilai perilaku,
karena muncul dalam apa yang kita lakukan. Sedangkan sikap, lebih
kepada daya dorong dibalik tindakan atau perilaku kita. Kita
biasanya menyebut seseorang itu baik, jika tindakan perilakunya
baik, dan sikapnya baik. Namun, menurut Sang Nabi, itu belum menjadi
akhlak sebelum dilengkapi dengan komponen ketiga yaitu, kebersihan
hati. Sebab, kebersihan hatilah yang menjadi ukuran sesungguhnya
atas nilai dari segala sesuatu yang kita lakukan. Sebab, hati itu
merupakan pabrik niat.
Seseorang boleh saja bertutur kata baik. Berperilaku baik. Bersikap
baik. Namun, jika hatinya buruk, maka semua kebaikan itu tidak lebih
dari sekedar kedok belaka. Oleh karenanya, begitu banyak orang
berbuat kebajikan. Menyumbang ini dan itu. Menebar derma diseluruh
penjuru negeri. Namun, nilai sesungguhnya dari semua kebaikan itu
sangat bergantung kepada niatnya. Saya boleh melakukan kebaikan
kepada anda. Namun, jika dibalik kebaikan yang saya lakukan itu
tersimpan niat buruk didalam hati saya; maka semuanya tidak menjadi
kebaikan. Maka, benarlah kata Sang Nabi bahwa; "Sesungguhnya amal
setiap manusia itu sangat bergantung kepada niatnya". Dan niat
itulah yang menentukan penilaian Tuhan kepada amalan itu. Lalu,
sebenarnya niat itu apa? Mungkin sulit bagi kita untuk
mendefinisikannya secara akurat. Namun, dia sering menjelma
berupa 'bisikan hati'. Jadi, untuk mengetahui niat kita, cukuplah
mendengar apa yang dibisikkan oleh hati kita. Jika bisikan itu baik,
maka baiklah niat kita. Dan baik pulalah amal perbuatan kita.
Artinya, behavior dan attitude itu bukan sekedar topeng, melainkan
kesejatian aktualisasi diri yang sesungguhnya.
Hellboy memiliki itu semua. Sementara banyak manusia disekitarnya
yang tidak mempunyai unsur ketiga dari ahlak yang diajarkan Sang
Nabi itu. Padahal, beliau menekankan betapa pentingnya niat itu.
Jangankan niat yang benar-benar buruk. Sekedar bisikan hati untuk
mencari pujian saja sudah mengurangi nilai dari tindakan kita.
Misalnya, kita memberikan derma. Namun, hati kita berbisik; "supaya
mendapatkan pujian dari orang". Beliau menyebut yang seperti ini
sebagai 'ria'. Kemudian menggambarkan ria itu sebagai sesuatu yang
sangat merusak nilai kebajikan seseorang. "Seperti api yang memakan
kayu bakar," katanya. Artinya, lenyap sudah setiap nilai kebajikan
yang dilakukan; jika didalam hati kita ada bisikan berupa ria.
Apalagi jika suara yang terdengar dari dalam hati kita itu berupa
niat-niat buruk. Sudah pasti kita tidak akan sampai kepada
kesempurnaan yang kita agung-agungkan itu. Karena akal, bukanlah
satu-satunya prasyarat menuju keutuhan diri kita sebagai manusia.
Sebaliknya, kebersihan hati memberikan peluang bagi kita untuk
menjadi manusia yang sempurna. Sebab, "Apa yang ada didalam hati
kitalah the one that makes man like us a man".
0 komentar:
Posting Komentar
dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi