Oleh Audith M Turmudhi
(Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 10 Juni 2003)
Anggapan bahwa intelektualitas adalah segala-galanya atau setidak-tidaknya merupakan faktor utama yang akan membawa orang pada kesuksesan dalam kehidupan karir atau kehidupan nyata di masyarakat, kini terbantah telak sejak Daniel Goleman menulis buku "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More than IQ" (1995). Buku yang merupakan hasil riset yang luas ini -- yang kemudian direspon positif oleh sejumlah ilmuwan yang kemudian melakukan riset lanjutannya -- sungguh sangat menyentak kesadaran pembacanya. Disebutkan oleh Goleman bahwa ada kecerdasan yang jauh lebih besar peranannya dibanding kecerdasan akademik atau kecerdasan intelektual dalam mengantar orang pada kesuksesan hidup, yaitu apa yang dinamakan kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Goleman menunjukkan betapa banyak orang yang pada waktu di sekolah atau kuliah tergolong pintar, menduduki rangking-akademik atas, namun terbukti gagal dalam kehidupan karirnya. Banyak pula orang yang di sekolah biasa-biasa saja capaian akademiknya, terbukti sukses dalam karir, menjadi orang berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Orang yang cerdas secara intelektual namun bodoh secara emosional, dalam kehidupan kerjanya mungkin akan menjadi orang kritis yang hobinya pamer kepintaran dan menjatuhkan orang lewat kritisismenya, arogan, atau mudah tersinggung, gampang marah, mudah runtuh motivasinya ketika menghadapi kesulitan kerja, sulit bekerja-sama, dan sejumlah perilaku negatif lainnya. Alhasil orang demikian akan berkontribusi rendah, bahkan mungkin negatif dalam bekerjasama, dan akan menuai rentetan kegagalan.
Kecerdasan intelektual memang penting, karena dengan itu orang secara kognitif dapat menganalisis persoalan yang dihadapi secara logis, sistematis, dan sekaligus mampu menemukan konsepsi pemecahan masalah secara kreatif. Namun bagaimana mengimplementasikan pemikiran kognitifnya itu di lapangan sosial, orang membutuhkan kecerdasan emosional. Emotional Intelligence adalah suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri dan emosi orang lain, ketika seseorang berhubungan dengan diri sendiri (intrapersonal relationship) maupun ketika berhubungan dengan orang lain (interpersonal relationship).
Orang pintar yang jahat
Betapapun pentingnya kecerdasan intelektual maupun emosional bagi kesuksesan seseorang, kita tidak boleh berhenti di situ. Apalah artinya orang yang pintar secara intelektual maupun emosional, tetapi jeblok secara spiritual. Orang ini mungkin akan menjadi orang yang berpengetahuan luas, kritis, kreatif, selalu bergairah, ramah, pandai menyenangkan dan meyakinkan orang, trampil bergaul, dan seterusnya, namun tega hatinya berbuat curang: menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, menjarah hak orang lain, bertindak korup, dan seterusnya. Dan karena dia pintar secara intelektual, maka kejahatannya itu dapat dilakukan dengan cara yang canggih sehingga sulit terlacak atau terbongkar karena pintarnya menghapus jejak, membungkus dan membentengi perbuatannya. Demikian pula karena dia cerdas secara emosional maka dia trampil dalam mengelola emosi-dirinya (self-regulation) sehingga kendati berbuat culas, dia mampu tampil tenang, penuh senyum meyakinkan, bahkan sukses pula merekayasa kesan diri sebagai orang baik, benar, penolong dan sebagainya. Pendeknya, orang ini bak musang berbulu domba: pandai bersandiwara dan akan menghalalkan segala cara demi kepentingannya. Sungguh, ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi kehidupan bersama. Moralitas-spiritualitas rendah bangsa kita inilah yang ditengarai menjadi sumber dari krisis multi-dimensional yang kini masih membelit bangsa dan negara kita. Makin sukses orang-orang ini menduduki jabatan-jabatan dan peran strategisnya, makin ganas korupsi dan kecurangannya.
Kecerdasan spiritual mutlak diperlukan
Di atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, mutlak diperlukan kecerdasan spiritual, yakni kemampuan orang untuk membedakan kebajikan dan keburukan, dan kesanggupan untuk memilih atau berpihak pada kebajikan, serta dapat merasakan nikmatnya berbuat bajik. Orang dengan kecerdasan spiritual tinggi akan merasakan kenikmatan spiritual tiada tara tatkala ia sanggup berbuat jujur, lurus, adil, meskipun akibatnya secara material atau secara “duniawi” mungkin ia harus menanggung kerugian. Dengan senantiasa menghidupkan hati nurani, menghadirkan Tuhan dalam kesadaran jiwa dan menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi semua tindakan, orang akan terbebas dari kepalsuan-kepalsuan hidup.
Kecerdasan intelektual dan emosional membawa orang pada kesuksesan. Kecerdasan spiritual membawa orang pada kebajikan. Yang kita inginkan adalah menjadi orang sukses yang baik. Tetapi ada ungkapan "It's nice to be important, but it's more important to be nice": baik juga kalau bisa menjadi orang penting atau sukses, tetapi lebih penting menjadi orang baik
Membalik skala prioritas-paradigmatik
Dengan demikian jelaslah bahwa seharusnya urutan prioritas dalam pengasahan kemampuan manusiawi (human capability) dalam pendidikan adalah pencerdasan spiritualitas sebagai yang utama, yang kedua pencerdasan emosionalitas, dan yang ketiga pencerdasan intelektualitas. Ketiganya penting, namun urutan nilai kepentingannya haruslah seperti itu, tidak terbalik seperti dalam praktik pendidikan kita.
Sayang sekali, selama ini ketika orang berbicara tentang upaya peningkatan moralitas atau spiritualitas siswa di sekolah, orang langsung menyebut tentang perlunya penambahan jam pelajaran agama, pemberian pelajaran budi pekerti, atau dulu penataran P-4. Cara-cara demikian sesungguhnya sangat tidak mencukupi untuk pencerdasan spiritualitas siswa. Penambahan pelajaran agama dan budi pekerti, paling jauh hanya menambah pengetahuan siswa tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Dus, hanya masuk di ranah kognitif, yang hanya berguna untuk menjawab soal ulangan atau ujian. Namun untuk menjadikan pengetahuan moral tersebut masuk dan mengeram di ranah afektif dan menjadi bagian dari kepribadian siswa, diperlukan perubahan pola kependidikan yang bukan sekedar superfisial seperti itu, melainkan paradigmatik sifatnya. Harus diwaspadai pula, bahwa pengajaran agama yang salah penanganan bisa membawa siswa pada fanatisme sempit dan arogansi religius yang justru menjauhkan siswa dari spiritualitas.
Ada sejumlah hal yang harus dikerjakan oleh sistem persekolahan kita kalau benar-benar ingin menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas secara spiritual, emosional, maupun intelektual.
Pertama, sekolah harus menegaskan misinya untuk mengasah ketiga aspek human capability utama peserta didik, yaitu kecerdasan spiritual sebagai top priority, kecerdasan emosional sebagai second priority, dan kecerdasan intelektual sebagai third priority.
Kedua, misi tersebut harus benar-benar dijadikan dasar dan semangat dari setiap kebijakan, peraturan, program, maupun perilaku keseharian institusional sekolah. Kejujuran, misalnya harus benar-benar ditegakkan dalam semua proses akademik maupun seluruh proses manajemen persekolahan.
Ketiga, setiap guru, bidang studi apapun, sungguh-sungguh menginsyafi dan berkomitmen penuh bahwa kehadirannya di sekolah, tampilnya di kelas, adalah sebagai guru dalam spiritualitas, emosionalitas, dan intelektualitas sekaligus. Perhatian setiap guru atas murid-muridnya haruslah yang pertama pada kinerja spiritual mereka, yang kedua pada kinerja emosional mereka, dan barulah yang ketiga pada kinerja intelektual atau penguasaan akademik siswa. Ketiganya dikerjakan dengan kualitas yang harus terus ditingkatkan. Guru harus menjadi teladan, contoh yang nyata untuk ketiga kecerdasan itu.. Dia tidak akan menganggap bahwa moralitas-spiritualitas adalah urusan guru agama atau guru budi pekerti, dan emosionalitas adalah urusan guru bimbingan konseling semata. Sebagai guru Fisika, misalnya, ia akan berkata pada murid-muridnya: "Anak-anak, meskipun saya adalah guru mata pelajaran Fisika, tetapi tugas saya adalah mencerdaskan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas kalian sekaligus. Saya sungguh bahagia kalau kalian memiliki jiwa yang mulia, berbudi pekerti luhur, senantiasa ingat dan bersyukur pada Tuhan sehingga kalian menjadi manusia yang baik. Saya juga sungguh bahagia kalau kalian memiliki emosi yang sehat-positif yang akan membawa kalian pada kesuksesan hidup di masyarakat. Saya juga akan bahagia jika kalian bisa menguasai dengan baik mata pelajaran saya yaitu Fisika karena hal itu akan membantu mencerdaskan intelektualitas kalian. Saya akan mengolah, mencermati, dan mengevaluasi kinerja ketiga aspek penting kemampuan manusiawi kalian itu…."
Keempat, setiap mata pelajaran didesain sedemikian rupa sehingga bermuatan pencerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus.
Kelima, sekolah harus menjadi tempat pergaulan sosial yang nyata-nyata membiasakan atau membudayakan nilai-nilai cerdas spiritual, cerdas emosional, dan cerdas intelektual. Sikap dan perilaku serta hubungan antar dan inter guru, murid, dan karyawan haruslah terasa sungguh-sungguh mencerahkan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas semua sivitas akademika sekolah.
Keenam, kesemuanya ini haruslah dikerjakan dengan teknik-teknik yang segar, kreatif, menggembirakan, dan berkualitas, sehingga ketiga sasaran pencerdasan itu dapat dicapai secara efektif.
Jika spiritualitas murid berhasil dijernihkan sehingga pikiran-pikiran negatif-destruktif jauh tereliminasi, demikian pula emosionalitas mereka tercerahkan penuh motivasi positif, maka dengan sendirinya energi mental siswa akan mudah terfokus pada pencapaian prestasi akademik. Akhirnya, belajar dan mencapai prestasi akademik pun -- meskipun diletakkan pada third priority -- menjadi terasa mudah dan menyenangkan.
0 komentar:
Posting Komentar
dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi