Neoplatonisme
Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause).
Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.
Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.
Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.
Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.
Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.[10]
Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.[11]
Aristotelianisme
Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.
Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.[12] Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.
Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.[13]
Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang mendapat perlakuan yang berbeda-beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya, tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda, yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat Aristotelianisme.[14] Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist oleh Ibn al-Nadim,
The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very important details which may be supplied from the sequel: first, the manuseripts were certainly not written in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as well.[15]
(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di dunia Islam ada kaitannya dengan diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun, kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).
Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metafisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.[16]
0 komentar:
Posting Komentar
dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi