UNTUNGLAH secara kultural kita punya banyak momentum periodik yang memungkinkan untuk leren sawetara. Yakni, saat untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk aktivitas duaniawi. Sebab, leren, ngaso, atau pause untuk beberapa saat itu bukan sekadar istirahat buat melepas lelah ataupun memulihkan diri dari kepenatan. Ia juga merupakan tahapan penting untuk menjaga irama agar segalanya menjadi sarwapatitis.
Ketika mendaki gunung yang tinggi, sebelum sampai di puncak, ada baiknya berhenti sejenak. Dari sebuah ketinggian, akan dapat dilihat jalan, tebing, ngarai, jurang, dan belantara yang telah terlewati. Dengan begitu, akan bisa dirasakan berapa bagian yang telah terlewatkan, sekaligus dapat diukur berapa lagi energi yang dibutuhkan untuk sampai di puncak tujuan. Semacam menatap yang menyilam, namun sekaligus membayang yang menjelang.
Karena itu, berhenti sesaat macam itu juga berarti menggunakan sebuah kesempatan untuk mulat sarira: mengevaluasi diri, mengetahui kekurangan dan kelemahan sebagai acuan untuk menentukan langkah berikutnya. Namun itu tak mungkin dapat dilakukan tanpa kemauan untuk membuka diri, jujur pada diri sendiri, sehingga bisa dilakukan penemuan yang autentik.
Sebaliknya, tanpa leren sawetara semacam itu, pendakian yang panjang hanya menjadi kegiatan yang menjemukan dan sarat beban. Lagi pula, tanpa sebuah jeda, satu tahapan pendakian tak pernah mendapatkan pemaknaan sehingga keberadaan tak cukup disadari untuk memberikan sumbangan berarti bagi peningkatan diri.
Dengan demikian, leren sawetara paling tidak akan memberikan kesempatan untuk menemukan irama baru, di samping memperbaiki irama yang sudah ada atau sekadar memperteguhnya jika memang dipandang sudah baik.
Tidur sebagai Jeda
Bayangkan pula jika seseorang senantiasa terjaga sepanjang siang-malam, entah bekerja entah tidak, tanpa pernah tidur. Inilah sesungguhnya jeda yang tak kalah sarat maknanya. Sebab ketika tidur, "Seolah-olah kita kembali lagi dalam keadaan dulu di rahim ibu, tanpa tahu tanpa sadar rasa 'saya hidup'. Dan tahu-tahu entah dari mana datangnya, terbitlah lagi bagaikan fajar menyingsing, kesadaran kembali. Aku bangun dan sekian jam hilang larut dalam masa lampau. Toh tidak larut hilang sama sekali dalam arti percuma, sperti piutang yang hilang dan tidak kembali atau kembali atau seperti angin lalu dan sudahlah." (Mangunwijaya, 1986:99)
Ada sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar keuntungan bahwa tidur perlu agar badan dan pikiran beristirahat, sebagaimana setiap mesin pun harus istirahat dan diperbaiki mana yang kurang. Manusia yang tidur tanpa rasa kekhawatiran sesungguhnya manusia yang kaya akan anugerah, sebab tidur selalu merupakan sikap penyerahan total kepada hal apa pun yang dapat berbuat apa pun terhadap yang tengah terlelap.
Namun ketika tidur telah menjadi rutinitas, mekanis, maka sebagian dari fungsinya sebagai jeda sesungguhnya telah tereduksi. Apalagi ketika yang terjadi hanya tertidur. Bukan turu eling, melainkan turu lali.
Maka lantas tidur, sebagaimana makan dan minum, harus dikurangi lewat laku ngengurangi. Jika untuk makan dan minum dijawab dengan puasa, maka untuk tidur dijawab dengan cegah lek atau lek-lekan, minimal tidak sampai turu sore.
Tak mengherankan jika laku semacam itu, lebih-lebih selama bulan Sura, ada yang menyebutnya sebagai nglereni. Nglereni adalah laku tarak brata dengan menghentikan beberapa aktivitas menyenangkan tadi, dengan memekak hardaning kanepson demi memperoleh efek, entah kasekten lahiriah ataupun kekuatan batin.
Leren dan Lereh
Dalam urusan pekerjaan, jelas bahwa jeda sangat diperlukan. Roning mlinjo, menawi sampun sayah sami ngaso. Begitu bunyi wangsalan yang hingga sekarang acap terdengar.
Lebih-lebih ketika terjadi kebuntuan tanpa tanda-tanda bakal tertemukan jalan keluar. Lerem atau leren sawetara patut menjadi pilihan. Malahan kalau perlu ada inah, batas waktu untuk menunda atau membiarkan sejenak sebuah persoalan untuk tak lekas-lekas diselesaikan.
Kesannya memang menunda atau menggantung persoalan. Namun yang sesungguhnya adalah memberikan kesempatan untuk sejenak mengambil jarak dari kekalutan yang dihadapi. Dengan begitu, diharapkan setelah leren atau lerem bakal ada cahaya terang yang menjadi inspirasi untuk mencari jalan keluar.
Tanpa jeda, memang segala yang semula memilik titik artikulasi akan kehilangan tekanan, arti, dan daya tarik lantaran terjebak sebagai rutinitas belaka. Keterus-menerusan yang tanpa leren hanya akan berbuah pada rasa menjemukan, jika tidak malah berujung keputusasaan.
Karena itu, buat mereka yang gemar bersuara lantang dengan kritikan, tidaklah bijak jika berteriak terus-menerus tanpa jeda. Ada saatnya untuk leren sawetara. Tidak hanya untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk menjawab kritikan, namun juga untuk memberikan arti bahwa yang dilancarkan itu bukanlah suara mesin yang terus bergemuruh namun tanpa jiwa.
Demikian berartinya leren sawetara sehingga penting pula sebagai latihan atau uji coba buat mereka yang kelak secara niscaya akan betul-betul leren dan tergantikan. Dengan begitu, jika kelak benar-benar leren tidak lagi owel, tapi bisa ikhlas dan legawa.
Sebab, betapa tak sedikit mereka yang menjadi lupa untuk leren. Yang fasih berucap lereh keprabon madeg kapandhitan dan sebenarnya suda lalu mangsa pun ternyata tak sanggup untuk mengekang nafsu berkuasa, sehingga enggan untuk benar-benar leren. Akibatnya justru menjadi gonyak-ganyuk nglelingsemi karena sekadar jadi tuwa tuwas.
Karena itu, ketika setiap hari atmosfer kita selalu diselubungi suasana serbapanas, tidaklah keliru jika kemudian banyak yang memilih kungkum saat pergantian tahun. Ketika setiap hari kebisingan telah akrab di telinga, tak ada salahnya untuk sejenak menyelam di keheningan puncak gunung atau tempuran kali. Itu juga jeda. Itu juuga bisa menjadi sarana untuk nglereni.
Ya, untunglah secara periodik kita memiliki waktu yang secara bersama-sama bisa ditempatkan sebagai saat yang untuk membangun jeda, untuk leren sawetara dan sejenak mengambil jarak.
(Sucipto Hadi Purnomo/35 - SM 27/01)
0 komentar:
Posting Komentar
dimohon isi komentar anda, Syukur ada yang mau ngasih kritik yang membangun, untuk membangun silaturahmi